Senin, 15 Agustus 2011

Pariban


Sebagai orang Batak, yang sangat tidak bermuka Batak dan tidak bersuara sekeras saudara-saudara Batak yang lainnya, saya juga punya tugas yang tidak resmi untuk menyebarkan dan memberikan penjelasan tentang Batak. Yah, semacam Duta Orang Bataklah. Kali ini saya untuk pertama kali membagikan tentang pertanyaan kebanyakan orang ke saya tentang sebuah kata yaitu : PARIBAN. Perlu dicatat saya tidak pernah menimba ilmu khusus untuk
masalah ini. Saya hanya mempergunakan pengalaman yang saya dapat di rumah saya yang mungil nun jauh di kota kecil Sidikalang (Ga pernah dengar Sidikalang? Go googling! You’ll find a nice small town with nice durian and awesome coffee.)

Saya cukup bersyukur terlahir dari dua orang Batak yang juga terlahir dari pasangan orang Batak. Jadi seratus persen Batak, walau (kembali lagi) muka saya dan suara saya bukanlah menunjukkan suku saya, setidaknya itulah yang dikatakan orang kalau mereka ketemu saya. “ohhh, kamu orang Batak? Ga keliatan yah.” Udah biasa digituin orang. Hanya mengulurkan senyum dan mengerlingkan mata (tindakan terakhir tidaklah secara serius saya lakukan, percayalah!)

Mari kita mulai bercerita tentang pariban. Sebenarnya saya tidak tau arti harfiah dari pariban. Banyak orang yang mengatakan pariban adalah jodoh, tapi menurut saya bukan jodoh, lebih tepatnya, menurut saya, dipaksakan untuk berjodoh. Walaupun dibeberapa kasus memang ada yang berjodoh tanpa dipaksakan berjodoh. Halah, ribet.

Saya cerita saja. Seorang anak laki-laki Batak berpariban dengan SEMUA anak perempuan dari kakak laki-laki atau adik laki-laki ibunya. Orang Batak menganut sebuah prinsip bahwa semua yang semarga adalah saudara (kakak atau adik, perempuan atau laki-laki), makanya orang Batak tidak boleh menikahi yang semarga dengan dirinya sendiri. Maka lebih luas lagi, pariban si anak laki-laki Batak adalah SEMUA anak perempuan dari laki-laki yang semarga dengan ibu anak laki-laki tersebut, karena semua laki-laki yang semarga dengan ibunya adalah saudara si Ibu juga.  

Ok lets make an example. Saya bermarga Manik (marga ayah saya Manik dan marga saudara kandung saya adalah Manik, ingat Batak adalah patrilineal), dan dilahirkan dari seorang ibu bermarga Purba, maka pariban saya adalah anak perempuan dari kakak/adik laki-laki ibu saya, yang juga bermarga Purba nantinya. Seperti saya jelaskan diatas bahwa satu marga adalah saudara, maka semua laki-laki yang bermarga Purba adalah saudara dari Ibu saya. Oleh karena itulah SEMUA anak perempuan yang berasal dari laki-laki yang semarga dengan Ibu saya adalah pariban saya, yaitu marga Purba. Sederhananya pariban seorang laki-laki adalah semua perempuan yang bermarga sama dengan ibunya. Cukup jelas? (fuihhhh, lap keringat dulu). Itu untuk anak laki-laki.

Jadi kalau untuk perempuan, pariban itu adalah SEMUA anak laki-laki dari kakak/adik perempuan ayahnya. Gampangnya untuk anak perempuan, carilah semua anak laki-laki yang Ibunya semarga dengan Ayah kalian. Atau dalam bahasa lain : carilah laki-laki yang mempunyai ibu semarga dengan diri kalian, maka itulah pariban kalian. Beres. 

Masalah si pariban bisa dinikahi atau tidak tergantung pariban anda masih lajang atau udah taken? Kalau udah taken, yah gimana yah? Itu urusan andalah. 

Tetapi pernikahan dengan pariban itu sangat dianjurkan di adat Batak. Apalagi kalau pariban itu masih berasal dari keluarga yang dekat. Seperti misalnya saya menikah dengan anak perempuan dari adik laki-laki kandung Ibu saya, misalnya lho ini. Itu sangat disambut dengan riang gembira tak terkira. 

Saya dulu sempat nanya ke Oppung Boru (Nenek) saya, kenapa harus begitu? Oppung saya hanya bilang : “Asa unang marserak bangso i”. Kalau diterjemahkan : “Supaya kita tidak berpisah dan berpencar”, yah begitulah kira-kira. Mungkin ada benarnya, kalau dilihat zaman dulu dengan kurang memadainya alat transportasi, komunikasi dan teknologi, strategi seperti ini memang cukup bagus, menurut saya. Capek juga kan yah, kalau misalnya si A menikah dengan orang yang bermarga lain dari kampung ujung dunia sana. Capek ya kan kalo misalnya harus kunjung-mengunjungi dengan jarak yang jauh. 

Tapi sekarang? Apakah hal seperti ini masih berlaku? Jawabannya adalah MASIH. Contohnya saja, masih sering kok kalau kumpul keluarga “kita-kita” dijodohin ditengah-tengah pertemuan keluarga. Dipaksa tukeran nomor handphone, dipaksa ngobrol, untung ya kan ga disuruh saling follow di twitter. Kakak perempuan saya dulu dijodoh-jodohin dengan anak laki-laki dari adik perempuan ayah saya. Wuih, tau ga ampe ditawarin macam-macam tuh si Kakak saya. Adik perempuan ayah saya sampai bilang : “Manang aha pe dipangido roham hulean, asala ma kawin ho dohot si XXX”. Terjemahannya kurang lebih : “Apa aja yang kau minta akan kuberikan, asal mau nikah sama si XXX”. (Si XXX tersebut adalah anak laki-laki dari adik perempuan ayah saya). Wuihhh, bayangin tuh, dikasi apapun. Sebegitu pengennya mau nikah sama pariban. Tapi apa daya, tawaran itupun tidak cukup membuat hati kakak saya trenyuh.

Kata pariban menurut saya tidak akan punah dan akan terus berkibar di tengah-tengah acara kumpul keluarga. Siap untuk mencari pariban kalian? Mariiiii.

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus