Selasa, 06 September 2011

Di Bawah Lindungan Ka’bah

Saya penasaran banget yah sama yang namanya film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Entahlah, saya belum pernah sepenasaran ini lagi sama film Indonesia, dulu pernah penasaran ama Dea Lova, zaman SMA. Tapi dulu waktu Dea Lova, langsung kesel ama filmnya karena ga sesuai sama bayangan diotak saya, yang sudah diisi ama
novel Dea Lova. Totally different. Nah kali ini saya penasaran lagi nih. Tapi demi supaya, ga sayang-sayang banget, saya memilih hari Senin untuk menonton. Biar murah meriah.

Inti dari cerita film ini tuh, kisah cinta Hamid dan Zainab yang terhalang status sosial. Zainab adalah anak dari juragan Haji Jafar tempat Ibu Hamid bekerja. Ketika memasuki awal film sampai pertengahan saya sangat suka dengan pemandangan yang ditwarkan di film ini. Cara menggambarkan suasana Padang tahun 1922 – 1927, sangat bagus. Bahkan chemistry yang dibangun oleh para tokoh menurut saya cukup baik dan enak ditonton. Tetapi saya mulai bosan ketika memasuki bagian akhir. Ada banyak hal yang menurut saya tidak enak dilihat mata. 


Hal pertama yang paling mengganggu adalah pemunculan berbagai macam produk di film ini dan tidak masuk akal. Ada 3 produk yang sangat sering muncul di film ini yaitu Kacang Garuda, Baygon (Anti Nyamuk Bakar) dan Gerry Chocolatos. Dengan setting tahun 1922-1927 di Padang saya tidak yakin sudah ada jenis-jenis produk ini.  Saya bahkan ngecek keabsahan informasi tentang produk ini di website resmi perusahaannya. Kacang Garuda yang merupakan produk dari Garuda Food, mulai dijual dipasar tahun 1987 (klik disini). Baygon baru didirikan tahun 1975 (diambil dari wikipedia, website resmi sedang undermaintenance). Gery chocolatos, apalagi ini? Baru juga netas beberapa tahun kemaren. Dan penampilan dari ketiga produk ini sangat dipaksakan yaitu dengan cara memaksa membuat versi “vintage” dari kemasan setiap produk. Pemuculan produk ini benar-benar mengganggu emosi saya sebagai penonton.

Hal kedua, menurut saya, akan lebih indah jika ada soundtrack yang berbahasa minang, syukur-syukur bermusik minang, kan bisa menaikkan musik minang seharusnya. Soundtrack yang dibawakan Opick terlalu modern.

Hal ketiga, logat dan dialek pemainnya kurang minang menurut saya.  

Hal keempat, adegan si Hamid lagi di Arab, keliatan banget diedit-edit gitu. Kayak nempelin gambar orang dilatarbelakang yang sudah ada. Kayak foto studio zaman dulu gitu. Orangnya di Salatiga tapi background fotonya di Hollywood. Terlihat aneh.

Hal kelima, saya kurang yakin sih dengan kritik ini. Disana banyak tokoh pria yang sudah memakai celana panjang yang bahannya dari batik, kayak yang sering dipakai orang Betawi. Entahlah budaya itu sudah ada atau belum. Tapi kok menurut saya belum ada yah?

Ada banyak teman-teman yang bilang nangis waktu liat film ini, tapi kalau saya tidak terlalu karena udah ngantuk duluan dibuat pemunculan produk-produk yang dipaksakan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar