Sabtu, 13 November 2010

Museum Kretek – Kudus : Dimana Rokok Beristirahat!


Yippie, 11 – 11 – 2010, akhirnya saya akan mempunyai perjalanan Tour De Museum yang pertama. Kali ini saya putuskan untuk ke Kudus. Bukan apa-apa, sekalian ketemu ama teman yang baru mendarat dari Jakarta. Ditemani oleh Rendi Ardinosa (teman galau, hahahha) kami memulai perjalanan dari Jl. Sriwijaya (alamat kosan) Semarang menuju Terboyo buat naik bus ke Kudus. Ongkos naik busa dari Sriwijaya ke Terboyo hanya Rp. 4000/orang. Tapi sedikit perhatian, pastikan anda memberi uang pas ama kernet busnya, atau ga kalo ngasi uang lebih pastikan anda minta kembaliannya, jangan segan-segan buat minta kembaliannya, walau muka bapak kernetnya lebih sangar dari bodyguardnya artis hollywood.
Dengan bermodalkan informasi dari teman ke teman kami memilih untuk naik Bus Nusantara AC. Saya sarankan untuk naik busnya dari dalam terminal biar bisa milih tempat duduk yang nyaman buat kita, jangan naik dari luar terminal, itu agak ga enak buat milih tempat duduk, biasanya udah setengah penuh dan hot seatnya udah keambil orang. Ini bus AC tapi ongkosnya sampe Kudus hanya Rp. 6000 aja. Dan dengan ongkos semurah ini jangan mengharap banyak di dalam busnya. Bus AC ini memang punya AC, tapi mesin AC yang bisa ada di atas tempat duduk kita itu sudah bolong, jadi ACnya langsung menuju kepala kita tanpa bisa dikontrol tingkat dinginnya, dan di beberapa kursi tidak bisa diarahin sesuka kita. Tempat duduknya sudah tua dan buluk, yah masih layak tapi buat diduduki, tapi lumayanlah dari pada ekonomi ya kan. Oh ya ngetemnya lumayan lama juga, bus yang saya tumpangi ngetem di dalam terminal sekitar 15 menit dan diluar terminal sekitar 20 menit. Its oklah ngetem tapi masih agak adem.
Perjalanan menghabiskan waktu sekita 1 jam 20 menitan. Setelah menunggu Mega Anjasmoro yang bakal jadi menjadi tour guide merangkap driver, heheheh (kidding...). Kami melanjutkan perjalanan menuju Museum Kretek. Museum yang menjadi museum yang pertama yang saya kunjungi di Tour De Museum. Museum ini tidak terlalu sulit untuk ditemukan, tinggal lurus dari arah Semarang dan pelan-pelan setelah PLN, belok kanan. Saya kurang tahu pasti, tapi jika anda mau kesana setelah PLN tanya aja orang-orang disana pasti tau (info yang kurang ok, hehehehe, maap tapi janji deh ga susah). Letaknya diseberang Indomaret dan deket pertigaan gitu. Udahlah yah saya juga ga hapal banget (hihihi).
OK, next. Fokus ke Museumnya aja. Hahahaha,,,alasan buat kabur!
Nanti kalau masuk ke Museum Kreteknya, langsung disambut oleh 2 gerbang gede berwarna coklat. Untuk bayar tiketnya langsung di gerbangnya, sangat murah hanya Rp. 1500/orang dan tidak parkir ataupun biaya lain-lain spt kamera. Begitu lepas dari gerbang langsung disambut halaman yang gede banget dengan ada patung 4 orang, kayaknya sih satu keluarga, 1 bapak, 1 emak, anak putri dan 1 anak putra. Si bapak digambarkan berdiri dan posisinya lebih tinggi dari yang lain pake topi caping, sarung, kaki ditopang batu dan sedang merokok (kayaknya yang merokok itu untuk mencocokkan dengan judul museumnya  ). Si ibu digambarkan sedang duduk dengan bakul dan kendi di depannya, lengkap dengan kebaya dan kain jariknya. Si putra yang pertama digambarkan pake kaos singlet dan celana pendek sedang duduk leyeh-leyeh dengan cangkul disampingnya (kayaknya doi baru dari kebun). Si putra yang lebih kecil digambarkan masih kecil dan pake celana pendek dengan rambut sauprit dikepala. Si anak putri digambarkan pake baju gaun kecil dan dengan ekspresi senang. Mungkin ini menggambarkan keluarga jawa zaman orde baru kali.
Disekeliling halaman terdapat banyak fasilitas, disebelah kiri ada Rumah Adat Kudus, Bioskop Mini, arena permainan. Disebelah kanan ada arena permainan juga. Satu hal disini tidak jelas dimana tempat parkirnya, jadi berimprovisasilah memaksimalkan ruang kosong.
Memasuki museum yang didapati adalah ruang agak remang dengan disambut berbagai patung. Ok mari kita mulai trip kita.
Kita mulai dengan trip dari sebelah sisi kiri. Disisi yang pertama dimulai dengan cerita Bapak M. Nitisemitro. Beliau adalah seoranga jawa yang punya pabrik rokok di Kudus. Beliau bukanlah yang pertama punya pabrik rokok tapi beliaulah yang pertama dikenal mempunyai perusahaan rokok yang well managed, sampai dulu beliau udah punya pesawat pribadi loh, kalau zaman sekarang saingannya Aburizal Bakrie kali yah. Makanya beliau punya spot tersendiri di museum ini. Disini juga ada terdapat beberapa barang peninggalan beliau, seperti blankon, pulpen dll.
Dilanjutkan kemudian disisi berikutnya ada mesin penggiling cengkeh yang masih menggunakan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Mesin ini seperti penggiling kopi lah kira-kira.
Selanjutnya ada diorama dengan suasana pedesaan dengan dikelilingi perkebunan cengkeh, kebun jagung dan tembakau. Digambarkan ada banyak petani yang bertani, memanen, menjemur, bahkan sampai menjual ketiga komoditas ini. Tembakau sudah sangat jelas digunakan untuk bahan dasar rokok, cengkeh digunakan sebagai campuran bahan rokok, dan jagung yang dipakai adalah kulit paling luar jagung sebagai pembungkus rokok. Dan nantinya rokok dengan bungkus kulit jagung ini disebut rokok klobot, kalau zaman sekarang sudah digantikan dengan kertas. Oh ya untuk pembuatan rokok juga dibutuhkan bahan saus sebagai perasa. Kalau kata guide museumnya, saus ini bisa macam-macam dan sangat amat terasa di rokok saat rokoknya baru selesai diproduksi. Dan sampai sekarang saya masih menduga-duga saus apakah yang dicampurkan dibahan rokok itu? Saus Sambal Lampungkah? Secara saya juga ga pernah merokok, ya saya ga ngerti. Dan ketika saya tanya guidenya jawabannya ga jelas. Mungkin Bapaknya juga ga tau. Baiklah!
Di spot berikutnya ada alat perajang tembakau yang juga masih sangat sederhana. Hanya terbuat dari sekitar dua bilah kayu untuk penyangga, satu bilah untuk tatakan, satu untuk pisau. Dan juga ada alat penggiling tembakau juga.
Kemudian beralih ke lemari-lemari kaca yang buram. Ada penjelasan mengenai jenis-jenis tembakau, dan juga ada diperlihatkan secara peringkat tembakau-tembakau pilihan zaman dulu, berdasarkan wilayah penghasilnya. Saya kurang bisa menghapal semua, yang saya ingat hanya peringkat pertama yaitu tembakau dari Madura dan peringkat kedua tembakau dari Weleri. Lengkap dengan contoh tembakau aslinya, tapi tembakau peringkat pertama ga ada. Di sana ada 12 peringkat tembakau. Selanjutnya ada juga spot untuk cengkeh dan kulit jagung.
Selanjutnya ada gambar tentang pembuatan rokok mulai dari rokok klobot dengan cetakan tangan, rokok lintingan yang sudah dibantu alat. Dan beberapa gambar tentang cara pengepakan dan finishing rokok zaman dulu.
Tepat ditengah museum terdapat 10 foto tokoh wiraswastawan rokok di Kudus. 10 tokoh itu H. M. Moeslich, Tjoa Khang Hai, M. Nitisemito, H. M. Ashadi, H. Ali Asikin, M. Sirin Atmo, H. A. Maaruf, Koo Djee Siang, Oie Wie Gwan, dan M. C. Wartono. Kesepuluh orang ini semuanya punya rokok yang berbeda-beda brand.nya.
Selanjutnya ada sebuah spot yang menyajikan barang-barang bentuk promosi perusahaan rokok. Mulai dari keramik dengan brand sendiri, korek api, gelas, cangkir dll. Kalau bentukan sekarang tuh kaos, pulpen, notes dengan nama perusahaan gede-gede dan zaman dulu hal seperti itu udah eksis.
Selanjutnya kita akan menemui diorama pabrik tradisional dan pabrik modern rokok, yang menunjukkan bahwa sekitar 90% pegawai pabrik rokok adalah perempuan. Mungkin gara-gara lebih telaten kali yah.
Dan yang ga kalah seru kali ini adalah koleksi Bungkus Rokok mulai zaman pertama kali di Kudus sampai yang sekarang. Waw banyak banget dengan merk yang berbeda-beda, mulai dari paling kecil sampai gede, mulai dari rokok klobot sampai sigaret kretek tangan. Bahkan ada beberapa yang menarik perhatian saya, seperti rokok klobot pertama yang bungkusnya terbuat dari kayu, rokok paling kecil dengan merk “MOERIA”, rokok dengan merk tumbuhan dan hewan dan ejaan lama “MERIJA” “GAJAH” dll, ada juga rokok dengan merk “KOREK API” (lah ini rokok apa korek? ), trus ada juga rokok resmi dari Istana Presiden dan Wakil Presiden yang dikeluarkan Djarum dengan lambang Garuda di depannya sampai sekarang saya ga tau tahun berapa dikeluarkan edisi itu dan apakah masih eksis sampai sekarang saya tidak tahu.
Diakhir kunjungan Sang Guide memberikan kita contoh rokok linting. Waw wangi tembakaunya enak (baru kali ini saya suka bau tembakau). Tapi berhubung tidak ada yang merokok jadilah tidak ada yang nyoba. Hahahaa. Jadi saya tidak dapt menceritakan bagaimana enaknya. Kata si Guide sih banyak turis luar yang tergila-gila. Ya bisa dibayangin aja, saya yang ga suka tembakau bisa seneng nyium wangi tembakau itu, apalagi anda pecinta rokok kretek?
Sebenarnya masih ada last show yaitu pemutaran film pendek tentang kota kudus dan pembuatan rokok kretek, tapi berhubung mepet waktu ya ga jadi deh. Oh ya ongkos menonton tuh Rp. 20.000 per show. Mau ngajak orang rame-rame juga tetep itu biaya tetap, begitu kata Sang Guide. Tapi mungkin ada limit orangnya kali yah. Saya tidak bertanya lebih jauh karena kita memburu waktu menuju Museum R. A. Kartini.
Jadi kalau anda seorang smokerholic, pergi dan lihatlah bagaimana “teman mengasap” anda berkembang dari dulu.
Dan kalau anda seorang non-smokerholic, pergi dan lihatlah bagaimana “benda berasap” itu berkembang dari dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar