Jumat, 03 Juni 2011

Remaja Tertawa


Sungguh, sudah jadi sebuah tontonan yang asik melihat remaja masa kini dengan penampilan dan tawa yang segar. Mereka sungguh menikmati masa mudanya. (Plis bukan berarti saya bilang saya sudah tua, walaupun saya memang lebih tua dari remaja) Lihat saja ditempat yang banyak remajanya, sudah pasti tempat itu ramenya bukan kepalang. Mulai dari suara, warna baju, sampai tingkah polah yang rame nan lincah. Di masa peralihan ini memang mereka belum tergolong apa-apa. Dibilang anak-anak, tidak juga, karena mereka sudah terlalu tua untuk itu. Mereka akan ditolak jika mau ikut main odong-odong. Mau dibilang dewasa juga ga. Mereka akan ditolak jika membeli minuman (sedikit) beralkohol di convenience store yang lagi nge-hits itu, karena belum cukup tua (Well, saya lebih suka menyebutkan kata tua, karena untuk bisa beli minuman beralkohol itu bukan dilihat dari “kedewasaan” seseorang tapi dari “angka” yang menunjukkan lama hidupnya seseorang. Harusnya yang beli minuman alkohol harusnya mengerti resiko yang ditimbulkan dari minuman itu, makanya perlu sebuah pemahaman yang lebih “dewasa” dan dalam tentang minuman itu. Saya percaya “ages didn’t  guarantee your maturity”. Ok skip! Bisa panjang pembahasannya.)

Tapi yang pasti mereka sering sekali kelihatan segar dengan derai tawa mereka. Itu yang mungkin “orang yang lebih tua” lupakan dari hidup mereka yaitu tertawa dan tersenyum. “Orang yang lebih tua” mungkin sudah lupa bagaimana mereka bersenang-senang di masa remaja. Begitu juga saya.

Alih-alih untuk merasakan keriaan remaja, saya masuk ke sebuah convenience store yang lagi nge-hits. Memang isinya hampir didominasi oleh remaja, bahkan ada yang masih anak-anak, tapi ya, memang ada beberapa orang yang lebih tua. Mungkin mereka punya tujuan yang sama dengan saya, atau mungkin tujuan lain yang lebih mulia, atau apalah.

Saya duduk di lantai dua, yang memang dikhususkan untuk menikmati makanan dan minuman. Tidak terlalu banyak pengunjung, karena saya datang di hari Sabtu pukul 10.00 WIB. Tapi perlahan, nafas kehidupan di lantai dua itu mulai mengalir. Segerombol demi segerombol anak remaja muncul dari tangga. Keriuhan demi keriuhan mulai tercipta. Salah satunya adalah segerombol remaja putra yang duduk didekat meja saya. (terdengar aneh sih “remaja putra”, tapi saya tidak tau sebutannya apa? Dari pada saya menyebutnya dengan “remaja pria”, lebih aneh kan?).

Mereka sedang sibuk mengurai setiap derai tawa.  Paling menarik perhatian saya adalah dua orang remaja diantara mereka yang mau adu panco. Waw, keren! Ditengah kesibukan menderai tawa mereka masih memikirkan olahraga dan kesehatan. Dan ditengah nge-hitsnya futsal dan nge-gym, mereka masih mau memilih olah raganya adu otot ini. Keren! *agak berlebihan

Saya tetap memusatkan perhatian ke mereka, dan berusaha cool, biar ga keliatan kayak orang menyedihkan yang butuh keriaan remaja. Dan, terdengarlah bunyi patahan. “Kretek”. Yah kira-kira seperti itulah. Dan diikuti ringisan remaja yang main panco tadi. Kaget? Jelas. Penasaran? Ya pastinya, kepo parah mah saya.

“Aduh gila tulang gw patah” begitulah ringisan si remaja itu. Saya langsung prihatin. Saya tidak cukup kuat untuk membayangkan tulang yang patah. Ngilu. Tapi yang bikin saya geregetan adalah tak seorang pun menganggap itu serius, malah menertawakannya.
 
“Hahaha, kenapa lu?” tanya seseorang.
“Kenapa dia?” tanya seseorang yang lain pada remaja lawan tandem panconya tadi.
“Eh lu seriusan ga ini sakitnya?” tanya remaja lawan tandem panconya itu.
“Gila nih sakit banget, tangan gw patah, bawa gw ke rumah sakit dong” kata si remaja yang jadi korban panco itu.
“Ah lu ada-ada aja sih, pake tangan patah, hahahaha” timpal yang lain sambil ketawa senang.
Tapi tidak ada satupun yang menolong. Hanya bertanya menuntut konfirmasi dan tertawa. Keriaan remaja pasti. Awalnya saya menganggap itu adalah kerjaan iseng mereka. Pasti itu buat ngerjain orang deh. Pasti (yang pura-pura jadi) korban itu tadi mematahkan sesuatu di bawah meja tanpa sepengetahuan saya. Pasti mereka mau ngerjain orang dengan menarik perhatian. Nanti ketika ada yang datang menghampiri buat nolong, pasti mereka akan teriak “kena deh”. Seperti salah satu tayangan di salah satu stasiun televisi itu.(Oh tidak, seberapa terjajahnya otak saya dengan program televisi itu.) Niat untuk menolong pun sirna. Ahhh sudah lupakan. Saya berusaha untuk mengalihkan perhatian saya dari mereka. Tapi entah mengapa itu membuat saya geregetan.
“Aihhh gila, sakit banget nih tangan gw” si korban itu tetap meringis dan tidak berpindah dari tempat duduknya.
“Hahahaha, dudul deh lu, pancoannya aja ampe segitunya” timpal yang lain
Ok, saya mulai semakin geregetan. Pengen nolongin tapi takutnya nanti kena jebakan mereka. Si korban makin terus meringis, tapi tidak satu pun teman mereka yang terlihat panik dan pengen menyelamatkan si korban, malah ada yang lebih memilih tertawa dan bertanya “seriusan ga lu?”

Heyyyyyyyyyyyyyy!!!! Itu dia meringis! Ahhhhh, pengen saya nolongin, tapi ada sebagian otak saya yang melarang. “Jangan!!! Itu hanya jebakan! Mau kena tertawaan anak remaja?” Begitulah kira-kira pendapat bagian otak saya yang lainnya. Dan itu juga yang membuat saya tetap diam dan tinggal ditempat duduk saya. Pengecut? Mungkin, tapi saya tidak mau jadi bahan tertawaan. Tapi saya percaya bahwa muka saya terlihat sangat panik, bahkan orang buta bisa melihatnya. Kalau mereka iseng, jelas, mereka berhasil mengaduk-aduk rasa panik saya.


Setelah meringis ga karu-karuan, seorang teman si korban membantu mengikatkan jaketnya di tangan si korban itu. Mereka turun melewati tangga dengan langkah santai. Sambil menuruni tangga si korban itu berkata “Gila tanggal 3 gw masih punya ujian lagi”. Tapi masih aja ditimpali temannya yang berkata “hahahah, ada- ada aja lu, Di. Udah, lu bikin surat dokter aja”. Mungkin nama anak tadi adalah Adi, atau mungkin Rudi, mungkin Didi, mungkin juga Riyadi atau mungkin juga Samidi atau Kariadi, oh pasti orangtuanya berasal dari Semarang, dan berharap dia jadi dokter. *ga penting

Mungkin kalau saya di posisi teman-temannya, saya akan seru dan panik buat ngebawa  si “Di” tadi untuk mendapatkan pertolongan yang lebih baik. Dan jelas saya tidak akan menertawakan dia untuk hal seperti ini.
Tapi saya tidak tau kelanjutan episode “keriaan” anak remaja tadi. Apakah mereka akan terus menertawakan si “Di” tadi? Apakah mereka mengantarnya ke rumah? Ataukah ke dukun patah? Apakah mereka akan tertawa melihat muka si “Di” meringis parah ketika dipijit sama dukun patah?  Apakah orangtuanya si “Di” akan memarahi lawan tandem panconya? Atau mereka akan tertawa terbahak sesampainya di lantai bawah sambil berkata “Lu liat ga muka mas-mas yang tadi disebelah meja kita? Asik mukanya penasaran parah?” atau mungkin “Hebat, Di! Akting lu asik banget tadi.”

Eh tapi kalo kejadiannya benar terjadi patah tulang gimana? Masihkah keriaan remaja itu masih tersangkut di wajah imut mereka? Atau masihkah keriaan tadi masih terus menempel dimuka mereka sampai 15 atau 20 tahun lagi? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar