Kemarin
malam, pukul 11.30, saya datang ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta
Selatan, dengan tujuan untuk donor darah. Saya langsung menuju Unit Gawat
Darurat (UGD) untuk bertemu dengan keluarga pasien. Seperti kebanyakan UGD pasti pihak rumah sakit menyediakan semcam
ruang tunggu bagi keluarga di luar UGD
tersebut. Selagi menunggu untuk donor saya menunggu di ruang tunggu
tersebut dengan beberapa keluarga pasien yang memang juga sedang menunggu
pasien yang sedang ditanganin. Perbincangan demi perbincangan berlangsung. Saya
duduk diam menyimak.
Seorang pria
muda, sebutlah dia Mas Ganteng, dengan tampang kuyu dan kecapean datang ke
ruang tunggu UGD tersebut. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding dan merosot
langsung ke lantai. Terduduk sambil meremas rambutnya.
“Harus
pindah rumah sakit soalnya disini ga ada alat pernafasan yang akan digunakan
untuk operasi” katanya tanpa ada yang bertanya.
“Tenang
dulu, Mas. Ada saran dan referensi ga dari sini?” tanya satu-satunya perempuan
di ruangan itu, sebutlah dia Mba Ayu.
“Ini lagi berusaha
menghubungi dua rumah sakit dekat sini, Mba. Mudah-mudahan ada yang kosong”
katanya sambil meraih air minum.
“Masnya yang
mau donor ya?” tanyanya melihat saya
“Iya mas”
saya mengangguk sambil tersenyum
“Tunggu
sebentar ya mas” katanya dengan muka memelas
Saya
mengangguk sambil tersenyum. Mas Ganteng tersebut bangun dan keluar dari ruang tunggu
tersebut.
Beberapa
saat kemudian, pria itu masuk dan kembali terduduk dengan lemas.
“Udah dapat
mas?” tanya Mba Ayu.
“Penuh semua
mba, hanya ada 1 harapan lagi. Tadinya ada rumah sakit yang paling dekat disini
RS XXX tapi harus ngasi DP sebanyak 50 juta, kita kurang sedikit uangnya, dan
mereka ga mau menerima tanda tangan pernyataan sanggup membayar diatas materai
mba” dia menjelaskan dengan muka yang sangat memelas.
“Harapan
tinggal yang satu ini, mudah – mudahan bisa. Udah capek nih mba” lanjutnya lagi
sambil meremas rambutnya.
---
Sepenggal kisah di ruang tunggu UGD yang membuat sadar bahwa uang kita
yang sejibun itu akan tidak ada artinya lagi. Kita hanya akan menikmatinya dari
puluhan selang kecil sampai besar yang ditanamkan ditubuh kita. Mau?
----
Seketika ruang tunggu UGD
tersebut hening, seolah semua beradu di alam khayal masing – masing. Memikirkan
yang entahlah hal yang sama atau tidak. Tergelitik dengan pernyataan terakhir
Mas itu, saya mengajukan pertanyaan yang mungkin terdengar bodoh : “Trus Mas, kalo misalnya ga ada
DP sebanyak itu rumah sakit akan menolak? Walau dengan keadaan pasien yang
gawat darurat?”
“Iya Mas. Gw tadi dibawah ngeliat
ada pasien sepertinya korban tabrakan dengan kepala berdarah dibawa dengan
omprengan didepan rumah sakit. Dokter yang tadi tuh yang pendek ada dibawah,
dia ga periksa, dia langsung state : ‘Ini kepalanya perlu dioperasi di bagian
otak, biayanya 50 juta, sanggup ga?’. Ya elah mas, dianterin pake angkot dan
yang nganterin tuh kakek tua yang lusuh. Dari mana dia dapat uang segitu? Si
kakek itu balik kanan dan ngebawa yang tabrakan itu. Dan tau mas? Perawat dan
Dokternya langsung balik kanan seolah tidak terjadi apapun. Kejam ya.”
“Masa sih mas?” tanya saya dengan
muka ga percaya
“Ga usah gt Mas. Ini ibu gw yang
udah masuk dari kapan tau, udah ngasi uang muka 30 juta, tetep aja muka
susternya nyolot dan kalo ditanya suka ga ramah. Kayak kemaren ya mas, ibu gw
tuh harus cuci darah. Keadaannya tuh penyakit ibu saya udah kronis banget,
dokter udah bilang kalo cuci darah ibu gw ini beresiko sangat tinggi, tapi
waktu cuci darah ga didampingin sama sekali sama dokter. Gw nanya dong mas, eh
malah dijawab ama susternya : ‘Cuci darahnya kita aja bisa kok Bu’. Ini ibu gw
tuh bukan resiko tinggi tapi resiko sangat tinggi tapi ga didampingin sama
dokternya. Akhirnya gw nanya lagi tuh mas : ‘Sus, tadi kata dokter ini adalah
cuci darah dengan resiko sangat tinggi tapi kenapa ga didampingin sama dokter?
Tadi dokternya sendiri yang bilang akan didampingin, saya mau bicara deh sama
dokternya lagi.’ Dan dijawab ama susternya mas : ‘Iya deh nanti dokternya
ditelepon, kalo sempat mungkin akan ngedampingin’. Ya jelas aja mas, gw marah.
Gw bilang ditelepon dulu dokternya. Akhirnya gw tinggal dan gw turun ke
Costumer Servicenya dibawah. Gw komplain sejadi – jadinya mas. Hasilnya?
Setelah gw komplain baru deh tuh dokter mau ngedampingin prosesnya. Disini tuh
perawat ama dokter harus dikerasin. Kita punya hak dan kewajiban.” Timpal si
Mba Ayu
----
Sepanggal kisah di ruang tunggu
UGD yang membuat saya sadar bahwa ketika seorang pasien masuk rumah sakit
sebenarnya yang sakit bukan hanya si pasiennya tapi juga keluarga pasien
tersebut. Teringat dengan ekspresi si MasGanteng dan betapa kesalnya si Mba Ayu. Bagaimana mereka capeknya, sedihnya dan
bingungnya. Belum lagi harus berhadapan dengan segala macam tahapan – tahapan
medis yang terkadang sebagai orang awam tidak mengerti sama sekali. Belum lagi
dikepala mereka juga terbayang bagaimana supaya keluarga yang mereka cintai
bisa sembuh cepat. Belum lagi membahas dana dari mana yang harus dikumpulkan
untuk menebus biaya rumah sakit yang sebesar itu. Belum lagi harus berhadapan
dengan semua paramedis yang mungkin pada saat menjawab pertanyaan kita juga
ternyata sedang dalam keadaan yang capek juga. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk semua
numpuk jadi satu.
Saya tidak bisa menyalahkan pihak
rumah sakit yang menolak pasien yang tidak sanggup membayar biaya rumah sakit,
karena mungkin mereka juga berpikir tentang segala biaya operasional yang harus
dikeluarkan. Bisnis adalah bisnis. Kita mau nyalahin siapa? Rumah Sakit?
Pemerintah? Ok lah kita memang mengharapkan rumah sakit bisa lebih longgar
untuk pengaturan uang muka, seperti harus membayarkan 50% dulu dan 50% lagi
nanti dengan menyertakan sebuah surat perjanjian hitam diatas putih. Mungkin
pemerintah pun mungkin bisa memberikan jaminan kesehatan bagi yang
berpendapatan menengah kebawah. Semua itu usul baik dan bagus.
Saya berharap lebih banyak ke
para medis bahwa alangkah sangat baiknya juga jika para medis dan pihak rumah
sakit juga bisa mempelajari psikologis untuk keluarga pasien. Bagaimana
menyampaikan sebuah berita, sebuah penjelasan bagi orang awam dan bagaimana
bisa menenangkan keluarga pasien.
Tapi jauh dari semua hal itu,
saya lebih sadar bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. Hiduplah lebih
sehat. Saya tak perlu menjabarkan tips cara sehat. Berkendaralah dengan lebih
teratur. Buatkanlah asuransi kesehatan. Ada begitu banyak asuransi kesehatan.
Setidaknya kita mengurangi resiko untuk dirawat rumah sakit.
Diakhir saya
menyadari besok saya harus olahraga sebelum berangkat kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar