Selasa, 14 Agustus 2012

Sepenggal Cerita di UGD


Kemarin malam, pukul 11.30, saya datang ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan, dengan tujuan untuk donor darah. Saya langsung menuju Unit Gawat Darurat (UGD) untuk bertemu dengan keluarga pasien. Seperti kebanyakan UGD  pasti pihak rumah sakit menyediakan semcam ruang tunggu bagi keluarga di luar UGD  tersebut. Selagi menunggu untuk donor saya menunggu di ruang tunggu tersebut dengan beberapa keluarga pasien yang memang juga sedang menunggu pasien yang sedang ditanganin. Perbincangan demi perbincangan berlangsung. Saya duduk diam menyimak.

Seorang pria muda, sebutlah dia Mas Ganteng, dengan tampang kuyu dan kecapean datang ke ruang tunggu UGD tersebut. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding dan merosot langsung ke lantai. Terduduk sambil meremas rambutnya.

“Harus pindah rumah sakit soalnya disini ga ada alat pernafasan yang akan digunakan untuk operasi” katanya tanpa ada yang bertanya.

“Tenang dulu, Mas. Ada saran dan referensi ga dari sini?” tanya satu-satunya perempuan di ruangan itu, sebutlah dia Mba Ayu.


“Ini lagi berusaha menghubungi dua rumah sakit dekat sini, Mba. Mudah-mudahan ada yang kosong” katanya sambil meraih air minum.

“Masnya yang mau donor ya?” tanyanya melihat saya

“Iya mas” saya mengangguk sambil tersenyum

“Tunggu sebentar ya mas” katanya dengan muka memelas

Saya mengangguk sambil tersenyum. Mas Ganteng  tersebut bangun dan keluar dari ruang tunggu tersebut.

Beberapa saat kemudian, pria itu masuk dan kembali terduduk dengan lemas.

“Udah dapat mas?” tanya Mba Ayu.

“Penuh semua mba, hanya ada 1 harapan lagi. Tadinya ada rumah sakit yang paling dekat disini RS XXX tapi harus ngasi DP sebanyak 50 juta, kita kurang sedikit uangnya, dan mereka ga mau menerima tanda tangan pernyataan sanggup membayar diatas materai mba” dia menjelaskan dengan muka yang sangat memelas.

“Harapan tinggal yang satu ini, mudah – mudahan bisa. Udah capek nih mba” lanjutnya lagi sambil meremas rambutnya.

---

Sepenggal kisah di ruang tunggu UGD yang membuat sadar bahwa uang kita yang sejibun itu akan tidak ada artinya lagi. Kita hanya akan menikmatinya dari puluhan selang kecil sampai besar yang ditanamkan ditubuh kita. Mau?

----

Seketika ruang tunggu UGD tersebut hening, seolah semua beradu di alam khayal masing – masing. Memikirkan yang entahlah hal yang sama atau tidak. Tergelitik dengan pernyataan terakhir Mas itu, saya mengajukan pertanyaan yang mungkin terdengar bodoh : “Trus Mas, kalo misalnya ga ada DP sebanyak itu rumah sakit akan menolak? Walau dengan keadaan pasien yang gawat darurat?”

“Iya Mas. Gw tadi dibawah ngeliat ada pasien sepertinya korban tabrakan dengan kepala berdarah dibawa dengan omprengan didepan rumah sakit. Dokter yang tadi tuh yang pendek ada dibawah, dia ga periksa, dia langsung state : ‘Ini kepalanya perlu dioperasi di bagian otak, biayanya 50 juta, sanggup ga?’. Ya elah mas, dianterin pake angkot dan yang nganterin tuh kakek tua yang lusuh. Dari mana dia dapat uang segitu? Si kakek itu balik kanan dan ngebawa yang tabrakan itu. Dan tau mas? Perawat dan Dokternya langsung balik kanan seolah tidak terjadi apapun. Kejam ya.”

“Masa sih mas?” tanya saya dengan muka ga percaya

“Ga usah gt Mas. Ini ibu gw yang udah masuk dari kapan tau, udah ngasi uang muka 30 juta, tetep aja muka susternya nyolot dan kalo ditanya suka ga ramah. Kayak kemaren ya mas, ibu gw tuh harus cuci darah. Keadaannya tuh penyakit ibu saya udah kronis banget, dokter udah bilang kalo cuci darah ibu gw ini beresiko sangat tinggi, tapi waktu cuci darah ga didampingin sama sekali sama dokter. Gw nanya dong mas, eh malah dijawab ama susternya : ‘Cuci darahnya kita aja bisa kok Bu’. Ini ibu gw tuh bukan resiko tinggi tapi resiko sangat tinggi tapi ga didampingin sama dokternya. Akhirnya gw nanya lagi tuh mas : ‘Sus, tadi kata dokter ini adalah cuci darah dengan resiko sangat tinggi tapi kenapa ga didampingin sama dokter? Tadi dokternya sendiri yang bilang akan didampingin, saya mau bicara deh sama dokternya lagi.’ Dan dijawab ama susternya mas : ‘Iya deh nanti dokternya ditelepon, kalo sempat mungkin akan ngedampingin’. Ya jelas aja mas, gw marah. Gw bilang ditelepon dulu dokternya. Akhirnya gw tinggal dan gw turun ke Costumer Servicenya dibawah. Gw komplain sejadi – jadinya mas. Hasilnya? Setelah gw komplain baru deh tuh dokter mau ngedampingin prosesnya. Disini tuh perawat ama dokter harus dikerasin. Kita punya hak dan kewajiban.” Timpal si Mba Ayu

----

Sepanggal kisah di ruang tunggu UGD yang membuat saya sadar bahwa ketika seorang pasien masuk rumah sakit sebenarnya yang sakit bukan hanya si pasiennya tapi juga keluarga pasien tersebut. Teringat dengan ekspresi si MasGanteng dan betapa kesalnya si Mba Ayu.  Bagaimana mereka capeknya, sedihnya dan bingungnya. Belum lagi harus berhadapan dengan segala macam tahapan – tahapan medis yang terkadang sebagai orang awam tidak mengerti sama sekali. Belum lagi dikepala mereka juga terbayang bagaimana supaya keluarga yang mereka cintai bisa sembuh cepat. Belum lagi membahas dana dari mana yang harus dikumpulkan untuk menebus biaya rumah sakit yang sebesar itu. Belum lagi harus berhadapan dengan semua paramedis yang mungkin pada saat menjawab pertanyaan kita juga ternyata sedang dalam keadaan yang capek juga. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk semua numpuk jadi satu.

Saya tidak bisa menyalahkan pihak rumah sakit yang menolak pasien yang tidak sanggup membayar biaya rumah sakit, karena mungkin mereka juga berpikir tentang segala biaya operasional yang harus dikeluarkan. Bisnis adalah bisnis. Kita mau nyalahin siapa? Rumah Sakit? Pemerintah? Ok lah kita memang mengharapkan rumah sakit bisa lebih longgar untuk pengaturan uang muka, seperti harus membayarkan 50% dulu dan 50% lagi nanti dengan menyertakan sebuah surat perjanjian hitam diatas putih. Mungkin pemerintah pun mungkin bisa memberikan jaminan kesehatan bagi yang berpendapatan menengah kebawah. Semua itu usul baik dan bagus.

Saya berharap lebih banyak ke para medis bahwa alangkah sangat baiknya juga jika para medis dan pihak rumah sakit juga bisa mempelajari psikologis untuk keluarga pasien. Bagaimana menyampaikan sebuah berita, sebuah penjelasan bagi orang awam dan bagaimana bisa menenangkan keluarga pasien.  
Tapi jauh dari semua hal itu, saya lebih sadar bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. Hiduplah lebih sehat. Saya tak perlu menjabarkan tips cara sehat. Berkendaralah dengan lebih teratur. Buatkanlah asuransi kesehatan. Ada begitu banyak asuransi kesehatan. Setidaknya kita mengurangi resiko untuk dirawat rumah sakit.
Diakhir saya menyadari besok saya harus olahraga sebelum berangkat kantor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar